Ilahi lastu lilfirdausi ahla wala aqwa
'ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi fainaka ghafirud dzanbil
adzimi.
Senandung syair yang menyentuh hati itu mengalun begitu
merdu. Sembari menunggu datangnya shalat Maghrib dan Subuh, para jamaah shalat
kerap melantunkan syair itu dengan syahdu di mushala dan masjid. Meski syair
itu telah berumur hampir 11 abad, namun tampaknya tetap akan abadi.
Syair pengingat dosa dan kematian itu boleh dibilang
begitu melegenda, seperti nama besar pengarangnya Abu Nuwas yang hingga kini
tetap dikenang dan diperbincangkan. Abu Nuwas atau Abu Nawas adalah seorang
penyair Islam termasyhur di era kejayaan Islam. Orang Indonesia
begitu akrab dengan sosok Abu Nuwas lewat cerita-cerita humor bijak dan sufi.
Sejatinya, penyair yang bernama lengkap Abu Nuwas Al-Hasan bin Hini Al-Hakami
itu memang seorang humoris yang lihai dan cerdik dalam mengemas kritik
berbungkus humor.
Penyair yang dikenal cerdik dan nyentrik itu tak
diketahui secara pasti tempat dan waktu kelahirannya. Diperkirakan, Abu Nuwas
terlahir antara tahun 747 hingga 762 M. Ada yang
menyebut tanah kelahirannya di Damaskus, ada pula yang meyakini Abu Nuwas
berasal dari Bursa.
Versi lainnya menyebutkan dia lahir di Ahwaz.
Yang jelas, Ayahnya bernama Hani seorang anggota tentara Marwan bin Muhammad
atau Marwan II- Khalifah terakhir bani Umayyah di Damaskus. Sedangkan ibunya
bernama Golban atau Jelleban seorang penenun yang berasal dari Persia. Sejak
lahir hingga tutup usia, Abu Nuwas tak pernah bertemu dengan sang ayah.
Ketika masih kecil, sang ibu menjualnya kepada seorang
penjaga toko dari Yaman bernama, Sa'ad Al-Yashira. Abu Nuwas muda bekerja di
toko grosir milik tuannya di Basra,
Irak. Sejak remaja, otak Abu Nuwas yang encer menarik perhatian Walibah ibnu
A-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab pun memutuskan untuk
membeli dan membebaskan Abu Nuwas dari tuannya.
Sejak itu, Abu Nuwas pun terbebas dari statusnya sebagai
budak belian. Al-Hubab pun mengajarinya teologi dan tata bahasa. Abu Nuwas juga
diajari menulis puisi. Sejak itulah, Abu Nuwas begitu tertarik dengan dunia
sastra. Ia kemudian banyak menimba ilmu dari seorang penyair Arab bernama
Khalaf Al-Ahmar di Kufah. Sang guru memerintahkannya untuk berdiam di padang pasir bersama
orang-orang badui untuk mendalami dan memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya
selama satu tahun. Setelah itu, dia hijrah ke Baghdad yang merupakan metropolis intelektual
abad pertengahan di era kepemimpinan Khalifah Harun Ar-Rasyid.
Sebagai penyair yang nyentrik, masa mudanya penuh dengan gaya hidup yang
kontroversial, sehingga membuat Abu Nawas tampil sebagai tokoh yang unik dalam
khazanah sastra Arab Islam. Ketika masih muda, puisi-puisi yang dikarangnya
kerap diinspirasi khammar (minuman keras), salah satunya khumrayat
(penggambaran minuman keras). Adalah Dr Muhammad al-Nuwaihi dalam kitabnya
Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras.
Sebagai penyair, tingkah laku Abu Nawas bisa disebut aneh, bahkan slebor.
Tingkah lakunya membuat orang selalu mengaitkan karyanya dengan gejolak jiwanya.
Ditambah sikapnya yang jenaka, perjalanan hidupnya benar-benar penuh warna.
Namun, di mata Ismail bin Nubakht Abu Nuwas adalah seorang yang cerdas dan kaya
pengetahuan.
''Saya tak pernah melihat orang yang mau belajar lebih
luas dibanding Abu Nuwas. Tak ada seorang pun. Dengan ingatan yang sangat kaya,
namun koleksi bukunya sangat sedikit. Setelah dia tutup usia, kami mencari
rumahnya dan hanya menemukan sebuah buku di rumahnya,'' papar Ismail bin
Nubakht dalam catatannya. Berbekal kepiawaiannya menulis puisi, Abu Nawas bisa
berkenalan dengan para pangeran. Sejak dekat para bangsawan, puisi-puisinya
berubah memuja penguasa. Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil 'Arabi wa Tarikhihi,
Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, penuh canda, berlidah tajam,
pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru.
Karir Abu Nuwas di dunia sastra pun makin kinclong
setelah kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid.
Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas akhirnya didapuk
menjadi penyair istana (sya'irul bilad). Abu Nawas pun diangkat sebagai
pendekar para penyair. Tugasnya menggubah puisi puji-pujian untuk khalifah.
Kegemarannya bermain kata-kata dengan selera humor yang tinggi membuatnya
menjadi seorang legenda. Namanya juga tercantum dalam dongeng 1001 malam. Meski
sering ngocol, ia adalah sosok yang jujur. Tak heran, bila dia disejajarkan
dengan tokoh-tokoh penting dalam khazanah keilmuan Islam.
Kedekatannya dengan khalifah berakhir di penjara. Suatu
ketika Abu Nawas membaca puisi Kafilah Bani Mudhar yang membuat khalifah
tersinggung dan murka. Ia lantas di penjara. Setelah bebas, dia mengabdi kepada
Perdana Menteri Barmak. Ia hengkang dari Baghdad
setelah kejayaan Barmak jatuh pada tahun 803 M. Setelah itu, ia hijrah ke Mesir
dan menggubah puisi untuk Gubernur Mesir, Khasib bin Abdul Hamid al-Ajami. Abu
Nuwas akhirnya kembali lagi ke Baghdad,
setelah Harun al-Rasyid meninggal dan digantikan Al-Amin.
Sejak mendekam di penjara, puisi-puisi Abu Nawas berubah
menjadi religius. Kepongahan dan aroma kendi tuaknya meluntur, seiring dengan
kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Syair-syairnya tentang pertobatan bisa
dipahami sebagai salah satu ungkapan rasa keagamaannya yang tinggi.
Sajak-sajak tobatnya bisa ditafsirkan sebagai jalan
panjang menuju Tuhan. Puisi serta syair yang diciptakannya menggambarkan
perjalanan spiritualnya mencari hakikat Allah. Kehidupan rohaniahnya terbilang
berliku dan mengharukan. Setelah 'menemukan' Allah, inspirasi puisinya bukan
lagi khamar, melainkan nilai-nilai ketuhanan. Di akhir hayatnya, ia menjalani
hidup zuhud. Seperti tahun kelahirannya yang tak jelas, tahun kematiannya
terdapat beragam versi antara 806 M hingga 814 M. Ia dimakamkan di Syunizi,
jantung Kota Baghdad.
Share
Abu Nawas Legenda Humor Penyair Islam
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 comments:
Posting Komentar
nikmati hidup ini dengan cara bersyukur atas segala hal...