Judul Buku : Di Balik Kisah-Kisah Hacker Legendaris
Penulis : Wicak Hidayat dan Yayan Sopyan
Cetakan : Pertama, 2007
Penerbit : Mediakita, Jakarta
Jumlah halaman: 143 halaman
Patronase hacker dalam pikiran kita selalu mengarah kepada sosok kriminil yang memanfaatkan teknologi komputer plus jaringan telekomunikasi untuk kepentingan pribadi. Hacker adalah orang jahat yang setiap saat membayangi diri untuk mengkorek informasi yang sangat rahasia. Tetapi, sudah benarkah pandangan seperti itu?
Anda sebenarnya tidak tahu apa-apa tentang hacker jika belum membaca manifesto mereka. Dokumen manifesto hacker itu berjudul “The Conscience of a Hacker” ditulis oleh Loyd Blankenship atau yang dikenal oleh para Hacker sebagai ‘The Mentor’ pada tahun 1986. Inilah manifesto itu:
“Inilah dunia kami… dunia elektron dan switch, beauty of the baud. Kalian menyebut kami penjahat.. karena kami menggunakan layanan yang sudah ada tanpa membayar, padahal layanan itu seharusnya sangat murah jika tidak dikuasai oleh orang-orang rakus. Kami kalian sebut penjahat… karena kami gemar menjelajah. Kami kalian sebut penjahat… karena kami mengejar ilmu pengetahuan. Kami ada tanpa warna kulit, tanpa kebangsaan, tanpa bias agama.. tapi bagi kalian kami penjahat. Kami adalah penjahat… sedangkan kalianlah yang membuat bom nuklir, mengobarkan peperangan, membunuh, berbuat curang, berbohong dan berusaha membuat kami percaya bahwa itu semua demi kebaikan kami. Ya, aku adalah penjahat. Kejahatanku adalah keingintahuanku. Kejahatanku adalah menilai orang berdasarkan perkataan dan pikiran mereka dan bukan berdasarkan penampilan mereka. Kejahatanku adalah menjadi lebih pintar dari kalian, sebuah dosa yang tak akan bisa kalian ampuni. Aku adalah hacker dan inilah manifestoku. Kau bisa menghentikan satu, tapi kau tak bisa menghentikan semuanya… bagaimanapun juga, kami semua sama.” (hal. 4-5 dan 86-87)
Aroma pemberontakan sangat kental dalam manifesto ini. Bahkan, ada semacam romantisme yang memikat seperti yang pernah diusung oleh Che Guevara, Jim Morisson, Soe Hok Gie, Chairil Anwar dsb. Romantisme itu berasal dari akar pemikiran anak muda yang ingin kebebasan dan penuh rasa ingin tahu dalam segala hal. Tulisan The Mentor ini dianggap mewakili semangat dan kegeraman dunia bawah tanah hacker terhadap masyarakat yang menolak kegiatan hacking.
Hacker sendiri berawal dari aktivitas bawah tanah mahasiswa di Massachusets Institute of Technology (MIT). Mereka memberontak dari kekangan peraturan kampus yang begitu ketat tanpa mengindahkan kondisi psikologi anak muda yang jiwanya tidak bisa tenang, selalu bergolak, meletup-letup dan penuh keingintahuan (hal. 134-136)
Dalam komunitas hacker, dikenal istilah White-Hat Hackers, Black-Hat Hackers dan Gray-Hat Hackers. Pengelompokan putih, hitam dan abu-abu ini mencirikan tujuan aktivitas dari hacker sendiri. Memang, ada kelompok yang memanfaatkan fasilitas teknologi untuk cyber crime. Bagi komunitas hacker, orang-orang yang melakukan cyber crime bukan hacker melainkan cracker. Perbedaannya sangat tipis tapi cukup sederhana, hacker membuat sesuatu dan memanipulasi kode program untuk tujuan pemanfaatan massal, atau ingin menyampaikan pesan sosial sedangkan cracker yang merusak dan menghacurkan dengan dasar keuntungan pribadi atau tanpa dasar sekalipun.
Kisah yang Menawan
Ketertarikan dengan buku ini sebenarnya sudah sejak lama (sejak terpampang pada rak toko buku terkemuka di kota ini). Namun, baru kesampain memilikinya awal Desember 2007 ini. Ada dua belas tokoh hacker dari berbagai kelompok yang coba diangkat kisahnya oleh Wicak dan Yayan. Seperti Tim Berners-Lee yang menemukan Web pertama kali, Robert Tappan Morris yang sempat menggemparkan jagad internet dengan “penyakit cacingan” pada komputer jaringan atau yang dikenal dengan Morris Worms. Selain itu ada Loyd Blankenship Sang Mentor pencetus manifesto hacker, Joe Engressia hacker telekomunikasi yang tuna netra dan Adrian Lamo hacker yang sepanjang hidupnya berkelana tanpa punya rumah dan masih ada beberapa lainnya dengan kisah yang terkadang mengharukan. Khusus Adrian Lamo, saya terkesan dengan ide hackernya yang merupakan filosofi sederhana:
“Saya mencoba satu per satu setiap pintu di gedung-gedung terbengkalai sampai ada yang terbuka. Sebuah metafor yang lucu terhadap cara saya membobol jaringan komputer.” (hal. 114)
Sudah saatnya pemikiran kita dicuci dengan sabun yang harum, dibilas hingga bersih sehingga pemikiran kelam terhadap sosok hacker bisa dinetralisir. Jika ingin menjadi seorang hacker maka jadilah hacker yang sejati dengan tidak pelit untuk membagi kode program, kerja keras, kreativitas, tanggungjawab. Bebaskan diri dan hack dunia ini!
Share
0 comments:
Posting Komentar
nikmati hidup ini dengan cara bersyukur atas segala hal...